TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
“MENGENAL BUDAYA ARAB”
DOSEN : AULIYA R
DOSEN : AULIYA R
![]() |
DI SUSUN
OLEH :
NAMA : MUHAMMAD
AINUL YAQIN
NPM : 17114060
KELAS : 1KA01
FAKULTAS/JURUSAN : ILMU KOMPUTER/SISTEM INFORMASI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia
dimuka bumi ini mendiami wilayah yang berbeda, ada yang mendiami wilayah timur,
wilayah barat dan wilayah timur tengah. Hal ini membuat kebiasaan, adat
istiadat, kebudayaan dan kepribadian setiap manusia suatu wilayah berbeda
dengan yang lainnya. Negara Indonesia termasuk ke dalam bangsa Timur, yang
dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Bangsa Timur dikenal dunia
sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang-orang dari wilayah lain sangat
suka dengan kepribadian bangsa Timur, mengapa? Karena mereka senang dengan
kepribadian bangsa Timur yang tidak individualis dan saling tolong menolong.
Kepribadian
bangsa timur dapat diartikan suatu sikap yang dimiliki oleh suatu negara yang
menentukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Kepribadian bangsa timur
pada umumnya merupakan kepribadian yang mempunyai sifat toleransi yang tinggi.
Kepribadian bangsa timur, kita tinggal di Indonesia termasuk ke dalam bangsa
timur, dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Di dunia bangsa timur
dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat.
Bangsa
timur identik dengan benua asia yang penduduknya sebagian besar berambut hitam,
berkulit sawo matang dan adapula yang berkulit putih, bermata sipit. Sebagian
besar cara berpakaian orang timur lebih sopan dan tertutup mungkin karena orang
timur kebanyakan memeluk agama islam dan menjunjung tinggi norma-norma yang
berlaku. Namun di zaman yang sekarang ini orang timur kebanyakan meniru
kebiasaan orang barat. Kebiasaan orang barat yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebiasaan orang timur dapat memengaruhi kejiwaan orang
timur itu sendiri.
Pada
umumnya kepribadian bangsa timur adalah sangat terbuka dan toleran terhadap
bangsa lain, tetapi selama masih sesuai dengan norma, etika serta adat istiadat
yang ada. Namun walaupun kita sudah tahu banyak tentang kepribadian bangsa
Timur kita tidak bisa selalu beranggapan bahwa kebudayaan bangsa Timur lebih
baik dari bangsa Barat. Karena semua hal pasti ada sisi positif dan negatifnya.
Tidak ada di dunia ini yang sepenuhnya baik.
Secara
garis besar kebudayaan asing yang mudah diterima adalah unsur kebudayaan
kebendaan seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan dirasakan
sangat bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Contohnya : Handphone,
komputer, dll.
1.2
TUJUAN
Tujuan
di susunnya makalah berjudul”Mengenal Budaya Arab” adalah untuk mengetahui
lebih jauh tentang budaya di sana. Kenapa saya mengambil judul ini? Karena disana
banyak sekali sejarah-sejarah islam pada zaman kenabian.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PEMBAHASAN
Dalam batas-batas tertentu, pertemuan antara dunia luar
dengan Indonesia lebih berbentuk persaingan, konflik, dan perselisihan daripada
saling mengerti, bersahabat, dan kerja sama. Demikian juga antara dunia Arab dengan
Indonesia. Bagi kebanyakan orang Indonesia, `Arab` selalu dihubungkan dengan
kekayaan, kekerasan, kasar, dan pemarah. Bagi orang Arab, `Indonesia` selalu
dikaitkan dengan kelebihan penduduk, kemiskinan, TKW/TKI dan `nriman`. Pada
kedua belah pihak ada prasangka, ketidaktahuan, dan salah informasi. Dan lalu,
sebagaimana dunia makin menjadi sempit karena kemajuan komunikasi, ditambah
lagi adanya usaha saling memperhatikan yang lebih besar, kontak antara
Indonesia dan Arab menjadi semakin berkembang di segala lini kehidupan.
Atas dasar kenyataan di atas, maka bagi setiap orang yang ingin
berinteraksi dengan komunitas bangsa lain dalam percaturan global, termasuk
dalam rangka tujuan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah, penting
untuk memperhatikan hal-hal berikut, antara lain:
1. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang
dituturkan oleh lebih dari 200 juta jiwa dan digunakan secara resmi di lebih
dari 22 negara. Secara umum bahasa Arab memiliki dua varietas, pertama bahasa
Arab Fusha (bahasa Arab standar/baku) dan kedua bahasa Arab `Amiyyah (bahasa
Arab pasaran). Varietas yang pertama umumnya digunakan dalam komunikasi resmi
seperti dalam sekolah, kantor, seminar, dilpomatik, berita, buku-buku, majalah,
dokumen-dokumen resmi dan sebagainya. Sedangkan varietas kedua, sering
digunakan untuk keperluan komunikasi atau percakapan sehari-hari oleh warga
kebanyakan dari segala kalangan baik yang terpelajar maupun yang buta huruf.
2. Komunikasi bisa berbentuk verbal maupun non-verbal. Porsi
komunikasi non-verbal berkisar antara 60 persen (dalam budaya Barat) hingga 90
persen (dalam budaya Timur) dari keseluruhan komunikasi. Komunikasi verbal
digunakan untuk menyampaikan gagasan, informasi atau pengetahuan, sedangkan
komunikasi non-verbal digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Fakta, peristiwa,
ciri-ciri sesuatu lebih mudah kita ungkapkan lewat kata-kata, tetapi emosi
seperti rasa sayang, rasa kagum, keterpesonaan, rasa jengkel, rasa benci, atau
bahkan kemarahan seseorang tidak jarang diungkapkan lewat isyarat tangan,
sentuhan, postur tubuh, nada suara, pandangan mata, ekspresi wajah tertentu,
jarak berbicara, penggunaan waktu, peggunaan benda tertentu (busana, interior
rumah, kendaraan, perhiasan, jam tangan, dasi, dsb.), bau-bauan dsb.
Sepengetahuan saya, pola komunikasi orang Arab pada umumnya termasuk salah type
komunikasi yang amat ekspressif yang memadukan antara bahasa verbal dengan
non-verbal sekaligus, seperti dengan mimik, gesture, dan pendukung non-verbal
lainnya guna mayakinkan lawan bicaranya.
3. Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama Islam (mungkin
100%), ini tidak berarti bahwa cara dan etika mereka dalam berkomunikasi selalu
santun seperti diajarkan Al-quran dan Sunnah. Sebagian dari cara mereka
berkomunikasi bersifat kultural semata-mata. Ini penting dipahami oleh
orang-orang yang akan berziarah/berkunjung ke Arab Saudi baik untuk menunaikan
ibadah umrah dan haji, apalagi untuk bekerja sebagai diplomat, pebisnis,
pegawai, teknisi, perawat, TKI atau TKW untuk mengatasi miss-komunikasi
(kesalahpahaman) dan konflik yang mungkin akan mereka/kita alami ketika
berhubungan dengan orang Arab, karena bagaimanapun mereka akan lebih banyak
berkomunikasi dengan warga pribumi.
4. Gaya komunikasi orang Arab, seperti gaya komunikasi
orang-orang Timur Tengah umumnya, bebeda dengan pembicara orang-orang Barat
(Amerika atau Jerman) yang berbicara langsung dan lugas. Dengan kata lain,
orang Arab masih tidak berbicara apa adanya, masih kurang jelas dan kurang
langsung. Umumnya orang Arab suka berbicara berlebihan dan banyak basi-basi
(mujamalah). Misalnya, bila seorang Saudi bertemu temannya, maka untuk sekedar
tanya kabar, tak cukup sekali dengan satu ungkapan, tapi berkali-kali.
Disamping itu bila seorang Saudi mengatakan tepat seperti yang ia maksudkan
tanpa pernyataan yang diharapkan, orang Saudi lainnya masih mengira yang
dimaksudkannya adalah kebalikannya. Kata sederhana `La` (dalam bahasa Arab
`Tidak`) yang diucapkan tamu tidaklah cukup untuk menjawab permohonan pribumi
agar tamu menambah makan dan minum. Agar pribumi yakin bahwa tamunya memang
betul-betul sudah kenyang, tamu itu harus mengulangi `La` beberapa kali, ditambah
dengan sumpah seperti `Demi Allah` (`Wallah`).
5. Masih banyak isyarat non-verbal khas Arab lainnya yang
berbeda makna dengan isyarat non-verbal ala Indonesia. Misalnya, sebagai
pengganti kata-kata, `Tunggu sebentar!` atau `Sabar dong!` ketika dipanggil
atau sedang menyeberangi jalan (sementara kendaraan datang mendekat), orang
Arab akan menguncupkan semua jari-jari tangannya dengan ujung-ujungnya
menghadap ke atas. Ketika bertemu dengan kawan akrab, mereka terbiasa saling
merangkul seraya mencium pipi mitranya dengan bibir. Ini suatu perilaku yang
dianggap nyeleneh oleh orang lain umumnya, bahkan mungkin juga oleh orang
Indonesia. Orang lain yang tidak memahami budaya Arab akan menganggap perilaku
tersebut sebagai perilaku homoseksual. Walhasil, jika kita bersama orang Arab,
kita harus tahan berdekatan dengan mereka. Bila kita menjauh, orang Arab boleh
jadi akan tersinggung karena Anda menyangka bahwa kehadiran fisiknya
menjijikkan atau kita dianggap orang yang dingin dan tidak berperasaan. Begitu
lazimnya orang Arab saling berdekatan dan bersentuhan sehingga senggol
menyenggol itu hal biasa di mana pun di Arab Saudi yang tidak perlu mereka
iringi dengan permintaan maaf.
6. Sejak kanak-kanak orang Arab dianjurkan untuk mengekspresikan
perasaan mereka apa adanya, misalnya dengan menangis atau berteriak. Orang Arab
terbiasa bersuara keras untuk mengekspresikan kekuatan dan ketulusan, apalagi
kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab, suara lemah dianggap sebagai
kelemahan atau tipu daya. Tetapi suara keras mereka boleh jadi ditafsirkan
sebagai kemarahan oleh orang yang tidak terbiasa mendengar suara keras mereka.
Maka pasti akan banyak yang mengira, kalau bicaranya seperti marah ketika
seorang pegawai Arab misalnya, sedang memeriksa paspor, iqamah, dsb. Saya
menduga banyak TKI/TKW di Arab Saudi yang belum memiliki pemahaman memadai
tentang bahasa Arab boleh jadi mengidentikkan suara majikan mereka yang keras
itu dengan kemarahan, meskipun majikan itu sesungguhnya tidak sedang marah.
Sebaliknya, senyuman wanita kita (termasuk TKW) kepada orang Arab/majikan pria
mereka yang mereka maksudkan sebagai keramahtamahan atau kesopanan, boleh jadi
dianggap sebuah `godaan` oleh majikan pria mereka. Kesalahpahaman antarbudaya
semacam ini, bisa tidak terhindarkan meskipun majikan dan TKW sama-sama Muslim.
Mungkinkah problem TKW di Arab Saudi seputar terjadinya pelecehan seksual
sebagaimana sering kita baca atau dengar, seperti kasus; `majikan Arab
memerkosa atau menghamili TKW` dsb berkaitan dengan kesalahpahaman antarbudaya
ini? Bisa jadi.
7. Budaya/tradisi Arab mementingkan keramahtamahan terhadap
tamu, kemurahan hati, keberanian, kehormatan, dan harga-diri. Nilai kehormatan
orang Arab terutama melekat pada anggota keluarganya, khususnya wanita, yang
tidak boleh diganggu orang luar. Di Arab Saudi wanita adalah properti domestik.
Di Saudi, adalah hal yang lazim jika seorang pria tidak pernah mengenal atau
bahkan sekadar melihat wajah istri atau anak perempuan dari sahabatnya,
meskipun mereka telah lama bersahabat dan sering saling mengunjungi. Juga tidak
lazim bagi seorang pria untuk memberi bingkisan kepada istri sahabat prianya
itu atau anak perempuannya yang sudah dewasa. Karena itu saran saya, tak
usahlah kita coba-coba sok ramah, berlama-lama memandang, apalagi menggoda atau
mengganggu.
8. Aturan/rambu-rambu lalu lintas yang berlaku di Arab Saudi
berbeda 180º dengan aturan yang berlaku di negara kita. Di Indonesia, setiap
pengguna jalan umum baik kendaraan pribadi maupun kendaraan/angkutan umum semua
wajib berada di jalur kiri jalan (dan letak roda kemudi mobil berada di bagian
kanan). Demikian pula waktu menaikkan atau menurunkan penumpang semua berada di
jalur kiri. Karena itu penumpang di Indonesia jika ingin turun dari kendaraan
umum, biasanya mereka bilang `Kiri Pak Sopir !`. Hal ini berbeda sama sekali
dengan apa yang berlaku di Arab Saudi, semua pengguna jalan termasuk waktu
menaikkan maupun menurunkan penumpang berada di jalur sebelah kanan jalan.
Demikian pula waktu menaikkan maupun menurunkan penumpang, mereka wajib menepi
ke sebelah kanan jalan. Apa jadinya jika tradisi lalu-lintas di negeri sendiri
ini tetap `kita pertahankan dan kita bawa` saat kita berada di Arab Saudi?
Sebuah features yang dimuat di sebuah surat kabar Arab Saudi (1999) pernah
penulis baca: `Tingginya frekwensi kecelakaan lalu-lintas yang menimpa sopir
pemula asal Indonesia, diduga karena perbedaan rambu-rambu lalu-lintas yang
berlaku di Arab Saudi. Sementara kecelakaan yang menimpa warga pribumi Saudi,
umumnya menimpa remaja usia 15-25 tahun disebabkan ugal-ugalan`.
9. Ada kesan, pandangan orang Saudi terhadap warga negara
Indonesia agak `stereotif`. Diantara bangsa-bangsa yang datang berkunjung ke
Saudi Arabia apapun motif dan tujuannya, orang-orang asal Indonesia termasuk
yang paling mudah diidentifikasi, baik dari segi fisik (sebagaimana umumnya
orang Asia Tenggara, orang Indonesia termasuk kelompok bangsa yang berfisik
tidak tinggi dan tidak besar), segi pakaian maupun cara berjalan. Mungkin
karena begitu banyaknya saudara-saudara kita yang muqim di Saudi baik sebagai
TKI maupun TKW, maka kesan pukul rata (generalisasi) itu tidak jarang menimpa
saudara kita jama`ah haji. Karena itu tidak usah dimasukkan di dalam hati jika
suatu ketika ada di antara kita yang `disangka TKI/TKW` dan merasa kurang
`dihargai` sebagai tamu Allah oleh orang Saudi ketika kita sedang di Arab
Saudi, terutama di saat kita berjalan-jalan tanpa kostum atau identitas jama`ah
haji.
10. Bagi orang Saudi, rumah betul-betul menjadi bagian privacy
yang tak semua orang bisa mengakses ke dalam dengan mudahnya, sebagaimana
kebiasaan kita di Indonesia. Desain rumah yang umumnya `hanya` berbentuk segi
empat bertingkat seolah-olah menggambarkan bangunan sebuah benteng yang sulit
ditembus. Faktanya memang benar, setiap rumah selalu ditutup dengan pagar
tembok tinggi, dengan pintu gerbang bisa berlapis-lapis. Apa yang ada di balik
tembok adalah sebuah privacy yang tidak boleh dikonsumsi oleh publik. Karena
itu saya menyarankan untuk tidak tengak-tengok atau tolah-toleh mengamati pintu
di depan rumah orang Saudi atau sekedar melihat-lihat bangunan bagian atas.
Sebab, umumnya mereka sangat tidak respek dengan perilaku seperti ini, bisa
jadi mereka mengira kalau orang itu adalah `harami` alias `maling` atau
penculik yang sedang mengintai mangsa.
11. Tak lama setelah saya muqim di Mekkah, suatu sore saya
berjalan-jalan di kawasan pertokoan di Mekkah dengan seorang kawan laki-laki
dari Indonesia (asal Gondanglegi - Malang). Sebagaimana kebiasaan di Indonesia
saya dan kawan saya berjalan bergandeng tangan sambil melihat-lihat barang yang
ada di sepanjang pertokoan tersebut. Begitu melintasi salah satu toko yang
dijaga oleh orang Arab, tiba-tiba kami ditegur si penjaga toko: `Isy fak inta
ya walad !...inta luthy walla eh,....haza aib, ya walad...` (apa yang kau
lakukan itu, nak...kamu homo apa bagaimana? Itu aib..). Wah...saya baru tahu,
ternyata bergandengan tangan dengan sesama jenis di Saudi itu termasuk `aib`
menurut mereka, sebab bisa dianggap sebagai pasangan homo, tetapi jika yang
bergandengan tangan itu berlainan jenis (sebagaimana yang pernah saya lihat)
ternyata biasa-biasa saja, sebab `diduga` itu pasangan suami istri.
12. Busana orang Saudi hampir semua sama. Mereka semua memakai
pakaian putih yang biasa disebut `tsaub` dengan sorban motif kotak-kotak kecil
berwarna putih-merah plus diikat dengan `igal` di kepala. Performance orang
Saudi yang demikian wibawa seringkali membuat orang-orang Indonesia yang baru
melihat atau mengenalnya menjadi ciut nyali, minder, kurang percaya diri bahkan
tak jarang yang menjadi takut, sehingga menimbulkan adanya semacam jarak
pemisah yang membatasi dalam pergaulan. Akibat berikutnya yang biasanya menimpa
adalah adanya perasaan rendah diri di dalam perasaan orang-orang Indonesia
ketika berhadap-hadapan dengan orang Saudi. Hal semacam ini seharusnya tidak
perlu terjadi, mengingat tak ada yang membedakan antara Arab maupun bukan Arab,
kecuali hanya taqwanya. Saya menduga, kultur Jawa yang melekat kuat
mengiternalisasi di dalam pribadi orang-orang kita kebanyakan, yang biasanya
terkenal sebagai orang yang nriman, ngalah, dan rendah hati memberi andil yang
kuat terhadap munculnya perasaan rendah diri di hadapan bangsa lain seperti
ini. Dalam kasus-kasus tertentu kelemahan seperti ini justru `dimanfaatkan`
oleh oknum orang Saudi untuk mem-pressure, menganiaya bahkan memperbudak
saudara-saudara kita di Saudi. Idealnya kita tetap harus merasa berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah, dengan tetap menjunjung tinggi etika pergaulan
global yang egaliter dan jauh dari sifat arogan.
13. Sesungguhnya di berbagai tempat-tempat pelaksanaan ibadah
haji (seperti di Mina, Arafah apalagi di Haram) telah dipasang tulisan larangan
keras mengambil foto. Namun umumnya, para jama`ah haji lebih-lebih
saudara-saudara kita jama`ah Haji asal Indonesia, selalu berusaha dengan cara
mencuri-curi mengabadikan momentum-momentum tersebut dengan camera dgtl,
handycam, HP maupun foto. Alasan pelarangan tersebut, tak lain karena hal-hal
semacam itu sangat berpotensi mengurangi keikhlasan di dalam melakukan ibadah
haji. Oleh karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk menanamkan pemahaman
bagi saudara-saudara kita jama`ah calon haji, agar haji betul-betul harus
terjaga, agar semua itu tidak menjerumuskannya ke dalam perilaku `riya``
Alhasil, aspek pengenalan dan pemahaman terhadap budaya
masyarakat Arab Saudi yang sesungguhnya tidak terkait langsung dengan rukun dan
wajib haji merupakan elemen penting yang menjadi pendukung terlaksananya
kesempurnaan ibadah haji. Semakin kita memahami budaya/tradisi masyarakat Arab
tempat kita bertamu ke `baitullah` idealnya akan semakin berpengaruh terhadap
kenyamanan, ketenangan dan akhirnya kekhusu`an ritual haji kita yang berujung
pada tercapainya haji mabrur. Amin. Wallahu Waliyyuttaufiq.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Bahasa
Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari
200 juta jiwa dan digunakan secara resmi di lebih dari 22 negara.
2. Komunikasi
di Arab bisa berbentuk verbal maupun non-verbal
3. Gaya
komunikasi orang Arab, seperti gaya komunikasi orang-orang Timur Tengah
umumnya, bebeda dengan pembicara orang-orang Barat (Amerika atau Jerman) yang
berbicara langsung dan lugas.
4. Bagi
orang Saudi, rumah betul-betul menjadi bagian privacy yang tak semua orang bisa
mengakses ke dalam dengan mudahnya, sebagaimana kebiasaan kita di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar